Monday, September 24, 2012

Mari Bermain Rubik


Maraknya buku-buku terbitan baru di toko buku cukup menggembirakan akhir-akhir ini, bahkan para penulis kenamaan bisa menjual buku karya mereka hingga jutaan copy. Meski masih banyak pembajakan nyatanya penjualan buku tidak terlalu memprihatinkan layaknya rilisan musik. Namun buku-buku yang terpajang di toko-toko buku besar kebanyakan memiliki genre atau jenis yang serupa. Cinta-cintaan khas remaja dan motivator adalah dua jenis buku yang dengan sangat mudah dapat kita temui disana. Sebegitu haus nya kah masyarakat akan cerita-cerita fiksi yang menjual bualan omong kosong tak tentu arah seperti itu? Dan apakah masyarakat kita terlalu galau dan lemah sampai buku-buku motivasi selalu saja masuk jajaran buku best seller? Meski banyak buku-buku berkualitas karya penulis lokal tapi dua genre buku yang disebutkan diatas rupa nya memang masih mendominasi entah sampai kapan.
Di tengah keserupaan rilisan-rilisan buku dari penerbit besar tersebut, muncul lah sebuah buku kumpulan tulisan karya Angga Wiradiputra yang ia beri judul RUBIK. Tak ingin menunggu lama sampai ada penerbit melirik karya nya, maka Angga berinisiatif untuk menerbitkan buku nya secara self released melalui @nulisbuku. Apa yang ada dalam benak kita saat mendengar kata Rubik? Mungkin sebagian besar dari kita menangkap bahwa Rubik adalah sebuat benda atau mainan yang memerlukan kerja otak lebih besar untuk dapat membentuknya menjadi sebuah kotak persegi yang teratur warnanya. Tapi nyatanya untuk menikmati buku Rubik ini kita tidak perlu berpikir sekeras seperti saat kita bermain Rubik. Buku Rubik ini bahkan memancing kita untuk turut serta masuk ke dalam cerita karena yang ditampilkan memang cerita-cerita yang dekat dengan keseharian.
Buku ini terbagi dalam beberapa bab yang judulnya mencerminkan garis besar isi cerita setiap bab nya. Sebagai pembuka kita akan disuguhkan cerita atau ekspresi perasaan penulis kepada Tuhan, keluarga, kekasih dan orang-orang terdekat yang ada disekelilingnya. Bab ini di beri judul Dear, Kadear. Kumpulan cerita yang cenderung singkat dan pilihan kata yang lugas, jelas, terkadang sinis dan apa adanya dalam bab ini membuat kita mudah untuk mencerna apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Beberapa tulisan di bab ini juga seolah mengingatkan kita akan kejadian umum yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari namun luput dari perhatian kita.
Beralih ke bab selanjutnya ada Mengigau kah kau Tuan Lau? Andi Lau?. Bab ini berisi cerita-cerita fiksi hasil imajinasi penulis. Saat membaca bab ini kita seolah berada dalam mesin waktu yang siap membawa kita ke masa kanak-kanak dulu saat orang tua kita membacakan dongeng sebelum tidur. Khayalan mengenai Negeri bla bla bla, Pemusik Asik dan Pecinta Jendela memaksa kita ikut masuk ke dunia khayalan yang menyenangkan. Setelah bermain-main di negeri khayalan maka selanjutnya kita di bawa kembali ke dunia nyata dalam bab Pak camat sudah bukan Rahmat, dia sedang curhat. Di bab ini penulis mencoba membagi cerita kesehariannya mengenai segala hal yang menarik perhatiannya, mimpi-mimpi nya dan kisah menyentuh yang dialami dalam keluarganya. Semuanya dikemas sederhana seperti seseorang yang sedang curhat dengan teman baik nya. Bab ini akan membuat kita merasa dekat dengan penulis. Namun begitu dalam bab ini banyak cerita singkat yang tidak utuh bahkan terkesan tanggung, seperti layaknya sebuah lagu yang hanya ada intro atau reff nya saja. Jadi kita seolah dituntut untuk menerka bagaimana cerita tersebut sebelum dan sesudahnya bila ingin menikmatinya secara utuh. Gaya berceritanya tersebut seolah sudah menjadi karakter nya dalam menulis. Tapi potongan-potongan cerita tersebut bisa saja disengaja oleh penulis untuk mengaitkannya dengan sifat Rubik yang merupakan potongan warna yang harus dipikirkan sendiri oleh pemainnya untuk mendapatkan bentuk yang utuh dan teratur.
Selesai dengan segala curahan hatinya, kita akan disuguhkan sebuah bab berjudul Susi untuk Sulastri, kata ganti sastra untuk meracau. Bab ini berisi kumpulan puisi serta prosa singkat nya. Penulis seperti nya memang tidak ingin membuat pembaca mati kebosanan bila harus membaca cerita panjang, maka puisi dan prosa yang ada disini pun dikemas dengan singkat namun sarat makna. Kemudian di bab selanjutnya ada Regi masih pake kawat gigi? Ngga, dia sudah beranalogi. Bab ini menggambarkan segala analogi dan persepsi penulis tentang kejadian yang ada di sekitar nya. Jangan heran bila persepsi nya berbeda dari pemikiran kebanyakan orang atau bahkan tidak pernah terbayang sebelumnya dalam benak kita. Pemikiran yang sederhana lagi-lagi dapat dengan mudah kita tangkap dalam tulisan yang banyak berisi tentang harapan, mimpi dan keheranan akan perilaku manusia belakangan ini.
Selanjutnya ada Resah dan gelisah pada semut merah. Bab ini berisi kumpulan lirik lagu yang penulis buat. Keseharian penulis yang merupakan seorang bassis dari sebuah band asal Bandung, Taman Kota membuat wajar rasanya bila ia memasukkan bab ini ke dalam bukunya. Kebanyakan lirik yang ada berisi tentang banyak pertanyaan mengenai kehidupan yang cukup membingungkannya. Sebagai penutup penulis menyuguhkan sebuah bab berjudul Sebuah teori, eh teori. Disini kita akan menemukan ideologi penulis mengenai hidup, musik sampai hubungan asmara. Berbeda dengan bab-bab sebelumnya, disini kita akan menemukan sudut pikir yang dikemas secara utuh. Penulis berusaha memaparkan pemikirannya secara gamblang dan kritis. Kita bisa saja setuju atau bahkan membantah semua tulisannya di bab ini dengan spontan. Gaya bertutur nya memang seolah memancing kita untuk berdiskusi.
Dari keseluruhan tulisan yang ada di bab ini maka dapat kita kenali gaya bercerita yang lugas dan terkesan to the point meski banyak juga pemilihan kata ajaib yang dapat menambah perbendaharaan kata pembaca. Pemilihan kata yang tidak biasa tersebut diakui penulis terinspirasi dari lirik lagu Zeke Khaseli yang di daulat sebagai idola dan panutannya, baik dalam menulis maupun bermusik. Bila kita menganggap hidup ini tak adil, maka dengan membaca buku ini kita akan menyadari bahwa banyak hal dalam hidup kita yang tanpa kita sadari justru bisa sangat menyenangkan.
Kalo kamu penasaran dengan keseluruhan isi buku ini, yuk langsung order aja ke @wenkywiradi  atau ke email wenkywiradi@gmail.com, karena buku ini self released jadi penulis nya juga deh yang turun tangan ngurusin distribusi dan pemesanan. Tapi kamu juga bisa nodong dia buat minta tanda tangan atau tanda kecup, hehee. Yuk tunggu apa lagi? Support our local indie writer :')

Artikel ini telah dimuat di web Berisik Radio yang dapat dilihat di sini

An Intimate Sparkle Afternoon



Alunan musik dream pop memang mampu membuat siapapun yang mendengarnya merasa relaks dan kadang tanpa sadar membuat kita terpejam sambil membayangkan satu scene dalam perjalanan hidup kita yang sesuai dengan feel lagu yang coba ditawarkan aliran musik ini. Suasana itu lah yang berusaha dihadirkan oleh sebuah band asal kota Bandung, Sparkle Afternoon. Band yang terdiri dari enam anak muda berbakat yaitu Ratih Kemala Dewi (vokal/glockenspiel), Diki Setiadi (gitar), Warna Kurnia (bass), Yogie Riyanto (gitar), Rizka Rahmawaty (keyboard), Tedy Wijaya (drum). Berdiri sejak tahun 2007, mereka berusaha meramu musik yang menjadikan mereka band dreampop bernuansa postrock dan shoegaze yang tetap memiliki ciri khas dibanding band sejenis yang makin banyak bermunculan.
Dentingan keyboard yang lembut, suara gitar dan vokal wanita yang mengawang, namun sesekali diselingi oleh suara gitar yang powerfull membuat musik Sparkle Afternoon terdengar kaya dan tidak membosankan meski dengan durasi lagu yang cukup panjang sekalipun. Suara gitar yang powerfull dan agresif dibawakan oleh Diki yang dulu sempat tergabung dalam band yang mengusung aliran metal. “Dulu saya memang pernah mainin lagu-lagu metal, trus diajak gabung di Sparkle Afternoon ternyata asik juga bawain musik dreampop dan saya merasa nyaman sampai sekarang”, ucap Diki.
Sementara menurut gitaris lainnya, Yogie, musik yang mereka mainkan mengandung filosofi keseharian yang dekat dengan mereka. “Ya kita hidup setiap hari kan dalam sehari itu aja belum tentu semuanya berjalan mulus, ada seneng nya tapi kemudian bisa juga ngalamin kejadian yang ngga enak, feel seperti itulah yang ingin kita tampilkan”.
Keyboard nampaknya menjadi tonggak musik yang selama ini mereka hasilkan. “Biasanya kalo bikin lagu memang awalnya ide dari Rizka sama Diki dulu setelah itu baru di sempurnakan sama yang lain”, cerita Yogie. Meski kini memilih aliran dreampop, mereka mengaku saat awal berkumpul tidak pernah ada rencana untuk menentukan aliran musik yang akan mereka mainkan. Bagi mereka kejujuran dalam bermusik menjadi faktor penting dalam setiap proses kreatif yang mereka jalankan.
Tak pernah memaksakan untuk membuat musik yang orang suka dengan mengabaikan kenyamanan mereka dalam memainkan instrumen. “Dulu malah kita awalnya main musik indie pop tapi akhirnya kita merasa lebih nyaman memainkan musik yang sekarang, itu sih yang penting, kita kan main musik memang untuk senang-senang”, ucap vokalis yang akrab disapa Mala. Influence yang bermacam-macam dari setiap personelnya mulai dari britpop, phsychedelic sampai metal rasanya wajar membuat aransemen musik yang mereka hasilkan terdengar lebih beragam dari satu lagu ke lagu lainnya. Itu lah satu kelebihan yang mereka miliki selain juga vokalis perempuan yang pandai memainkan glockenspiel.
Setelah merilis split album bersama band postrock asal Bandung Under The Big Bright Yellow Sun pada tahun 2010 dibawah label Loud For Goodness dan dua lagu mereka Gorgeous dan Fade Away yang sempat dirilis oleh BFW Recording, sebuah netlabel dari Inggris, saat ini mereka sedang menyiapkan full album pertama yang ditargetkan bisa rilis akhir taun ini. Namun target mereka ini memiliki beberapa kendala yang cukup menyulitkan. Diantaranya adalah Mala dan Tedy yang sejak tahun 2011 berdomisili di Jakarta karena urusan pekerjaan, Yogie pun sering dinas keluar kota sehingga sangat sedikit sekali intensitas pertemuan dan waktu senggang yang dimiliki untuk merekam materi lagu yang kelak akan mereka hadirkan dalam album. Karena itu lah dalam beberapa penampilan live nya, Sparkle Afternoon dibantu oleh additional drummer Irvan N Martpresia.
Namun begitu bagi mereka segala kendala yang ada tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berada dalam satu band dan berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan album. “Target sih tetap ada tapi kami juga ngga maksain, jadi kalo memang diantara kami ada yang punya urusan yang lebih penting di luar band ya silahkan, kami juga support itu karena band ini tuh udah kayak keluarga buat kami semua”, tukas Warna Kurnia. Sementara Irvan yang selama Tedy bekerja di Jakarta selalu ditugaskan sebagai drummer additional mengaku nyaman berada di  band ini. “Ya saya sih selalu support mereka dari dulu apalagi kita punya satu kesamaan yaitu ngga bisa tidur sebelum subuh makanya jadi cocok mainin musik-musik kayak gini, hahaha”, canda Irvan. Bagi semua yang terlibat dalam Sparkle Afternoon komunikasi dan kekeluargaan adalah faktor penting yang membuat band ini tetap eksis sampai sekarang.


Artikel ini telah di muat di web Berisik Radio yang bisa dilihat di sini



Friday, September 14, 2012

Angklung Night Tribute To The Beatles



Menyatukan musik barat warisan musisi legenda The Beatles dan musik khas Indonesia angklung merupakan sebuah konsep acara yang layak mendapat acungan jempol. Konsep pertunjukan tersebut berhasil direalisasikan oleh Big Bamboo Organizer. Mengusung tema acara Angklung Night Tribute To The Beatles, acara tersebut diselenggarakan selama 2 hari berturut-turut pada 7-8 September 2012 di Saung Angklung Udjo, Bandung.

Mendekati pukul 7 malam penonton yang telah hadir ke lokasi acara segera memasuki area pendopo Saung Angklung Udjo yang berkapasitas 500 orang. Tepat pukul 7 acara dimulai dengan penampilan sebuah band bernama Bitelan. Penampilan Bitelan sebagai band pembuka berhasil menghangatkan suasana dengan dibawakannya lagu The Beatles seperti If I Feel dan Lucy in The Sky With Diamonds. Seluruh penonton yang hadir bersorak dan memberikan tepuk tangan yang meriah. Pengisi acara selanjutnya yang turut memainkan lagu-lagu andalan The Beatles adalah Omen Ranger, seorang gitaris. Ia memainkan lagu And I Love Her dan Eleanor Rigby dengan sangat memukau dan mengundang decak kagum penonton yang terdiri dari berbagai usia mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saat ia memainkan lagu-lagu The Beatles dengan gitar nya, seluruh penonton yang hadir tak segan untuk bernyanyi mengiringi permainan gitar akustiknya. Tak ada yang mampu membantah kemampuan apik nya bermain gitar.
Tak hanya sampai disitu, untuk lebih memanaskan suasana Koes Beat Band pun dihadirkan untuk turut serta unjuk kebolehan membawakan lagu-lagu The Beatles. I Wanna Hold Your Hand, The Ballad of John & Joko sampai Twist and Shout berhasil membuat penonton larut dalam suasana rock and roll malam itu. Semua bersenang-senang dengan pertunjukan yang disuguhkan. Sampai pada penampil yang ditunggu-tunggu pun satu persatu menaiki pentas. Mereka adalah kelompok Angklung Massal pimpinan Daeng Udjo yang merupakan anak ke 8 dari Alm. Udjo pendiri Saung Angklung Udjo. Sebelum unjuk kebolehan memainkan sederet lagu The Beatles, Daeng Udjo lebih dulu menyapa penonton yang hadir.
Ia mengaku tidak menyangka banyak penggemar The Beatles yang berasal dari kalangan anak muda. Ia juga mengungkapkan harapannya pada penonton yang hadir. “Saya harap Angklung dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena di luar negeri saja banyak orang yang suka dengan angklung”, ucapnya dengan bangga. Setelah itu ia pun segera memandu 40 orang pemain angklung yang sudah siap diatas panggung. Yesterday dibawakan sebagai lagu pertama dan berhasil membuat semua penonton yang hadir menyimak dengan khidmat dan penuh kekaguman. Selanjutnya deretan lagu lainnya pun dibawakan dengan harmonisasi yang tidak kalah memukau nya. Mereka adalah Michelle, In My Life dan Eleanor Rigby.
Selesai dengan Angklung Massal, kelompok Angklung Orchestra pun memenuhi panggung. Namun kali ini jumlah pemain angklung hanya setengahnya dari kelompok angklung sebelumnya. Kelompok angklung ini disebutkan telah sering sekali bermain keluar negeri sampai Amerika Serikat untuk menghibur dengan alunan angklungnya. In My Life, Oblada-Obladi dan Eleanor Rigby dibawakan dengan sempurna. Seluruh penonton larut dalam kekagumannya dengan suguhan musik yang dihadirkan. Selanjutnya yang tak kalah mengejutkan adalah dihadirkannya pemain angklung cilik Ajay dan Ria. Memainkan jenis angklung yang disebut dengan angklung towel mereka membawakan nomor-nomor andalan The Beatles seperti And I Love Her, Let It Be dan Can’t Buy Me Love.
Bukan hanya para pengisi acara yang bisa memainkan lagu The Beatles dengan instrumen angklung. Seluruh penonton yang hadir pun di beri kesempatan untuk turut merasakannya. Angklung dibagikan ke seluruh penonton dan Daeng Udjo memandu untuk memainkannya dari atas panggung. Penonton tampak sumringah saat mampu memainkan lagu Hey Jude dibawah arahan Daeng Udjo. Tentu saja itu akan menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi semua yang hadir malam itu.
Kemudian tiba lah giliran band terakhir berkesempatan untuk membawakan lagu The Beatles dengan style bermusik khas mereka. Adalah Arumba, sebuah band yang memadukan angklung dan musik modern dalam band nya. Tampil dengan musik dan vokalis wanita yang sangat atraktif, mereka berhasil membawakan lagu-lagu seperti Don’t Let Me Down dan Come Together. Belum puas dengan pertunjukan malam itu, seluruh penampil pun memenuhi panggung untuk bernyanyi bersama. Lagu yang dipilih adalah Obladi-Oblada. Dengan dinyanyikannya lagu tersebut maka berakhir pula lah seluruh pertunjukan hampir 3 jam di hari pertama itu. Wajah sumringah dan bahagia terpancar dari wajah seluruh penonton saat meninggalkan Pendopo Saung Angklung Udjo.
Pertunjukan musik seperti ini memang merupakan sebuah alternatif baru bagi pecinta musik di Indonesia, khususnya Bandung. Pihak penyelenggara pun merasa puas dengan antusiasme penonton, terlebih lagi 500 lembar tiket berhasil terjual habis per hari nya. Semoga selanjutnya semakin banyak yang menyelenggarakan acara musik unik dan berkualitas yang dapat menambah wawasan bermusik seperti ini.



Review gigs Angklung Night Tribute to The Beatles telah dimuat di web Berisik Radio dan bisa dilihat di sini

Thursday, September 13, 2012

Dazzling Hill

Dinginnya cuaca di kota Bandung tak menyurutkan niat para pecinta musik di kota kembang tersebut untuk berbondong-bondong mendatangi sebuah galeri seni bernama Galeri Selasar Sunaryo. Terletak di Dago Atas, sebuah kawasan di dataran tinggi Bandung Utara membuat suhu udara di Galeri Selasar Sunaryo dingin seolah menggigit kulit. Namun perhelatan sebuah acara musik bertajuk Dazzling Hill sanggup mengantarkan sekitar 400 orang untuk memenuhi area Amphitheatre. Bahkan masih banyak yang tidak dapat menyaksikan acara itu karena tiket yang sudah sold out jauh sebelum acara dimulai. Malam minggu kemarin tanggal 8 September 2012 sekitar pukul 7 malam di mulai lah acara yang melibatkan 5 band dari kota Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Suasana dingin malam itu coba dihangatkan dengan penampilan band indie pop, Cascade, yang di daulat sebagai band pembuka. 

Kemudian coba dilanjutkan oleh penampilan dari duo yang menamakan diri mereka Mission Possible, instrumental duo tersebut tampil dengan bersenjatakan hammond dan drum. Mereka tampak memukau saat unjuk kebolehkan memainkan dua instrument tersebut dengan apik. Meski tak banyak penonton yang hafal dengan materi lagu yang mereka bawakan, nyatanya semua yang hadir begitu terhibur dengan keberadaan mereka diatas panggung. Selesai dengan Mission possible tiba lah giliran sebuah band asal Yogyakarta, Individual Life. Tak ada ekspektasi apapun saat mendengar band ini akan ikut memeriahkan Dazzling Hill. Namun saat kemudian mendengarkan alunan musik yang mereka mainkan, mewah adalah kesan pertama yang saya tangkap dari musik mereka. Sound gitar yang mengawang khas musik post rock, gesekan biola dan bebunyian piano yang begitu tegas membuat musik mereka begitu semarak dibawah sorot lampu yang juga tak kalah meriah. 

Kemewahan musik mereka disambut dengan gemuruh tepuk tangan dan decak kagum siapapun yang berada disana. Total 4 lagu mereka bawakan dengan sempurna. Setelah dibuat mengawang dengan sajian musik Individual Live, penonton dimanjakan dengan kehadiran Payung Teduh dengan musik akustiknya. Cuaca yang semakin dingin seolah pas dengan lagu mereka yang berlirik romantis dan teduh sesuai nama mereka. Sejumlah nomor andalan yang terdapat dalam album Dunia Batas pun berhasil mereka bawakan dengan mulus. Mereka adalah Berdua Saja, Kucari Kamu, Angin Pujaan Hujan, Rahasia dan Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan. Sempat ada encore saat mereka pamit undur diri, namun malam yang semakin larut membuat mereka tak mampu memenuhi keinginan para pendengarnya untuk terus menikmati harmonisasi lagu mereka. 

Kemudian tiba lah pada penampilan band penutup malam itu. Siapa lagi kalau bukan Pure Saturday. Band paling senior diantara para pengisi acara lainnya malam itu membuka penampilan mereka dengan lagu Horsemen, yang diambil dari materi album terbaru mereka Grey. Meski kurang lengkap tanpa ada nya synth seperti yang terdapat dalam album toh hal tersebut tak mengurangi sambutan penonton atas penampilan pertama mereka setelah rehat lebaran. Menemani Horsemen, ada juga Starlight, Musim Berakhir dan Lighthouse yang mereka bawakan malam itu. Namun selain itu, lagu-lagu andalan di album terdahulu juga tak luput mereka bawakan. Adalah Elora, Spoken, Kosong, Cokelat dan Desire yang berhasil membuat seluruh penonton berkaraoke massal. Konsep acara yang memang sengaja diadakan di sebuah tempat berdataran tinggi di kota Bandung tersebut sangat serasi dengan seluruh penampil yang turut memeriahkan. Penikmat pertunjukan musik pun mendapatkan sebuah pengalaman baru menonton band idola nya dengan suasana yang sangat nyaman dan menyenangkan.

Tuesday, September 11, 2012

Ada Apa Dengan Anak-anak Masa Kini?

       Tak ada lagi pemandangan di ujung jalan gang atau komplek perumahan dimana anak-anak sedang bernyanyi “ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu yang selalu bersinar di langit” atau “can, dakocan keserempet delman bukan salah kusir dakocan gak mau minggir” Rasa nya sejak Sherina, Tasya dan terakhir Joshua beranjak gede gak ada lagi penyanyi cilik yang berseliweran di televisi. Acara musik anak-anak seperti tralala trilili, pesta ceria atau kring kring olala pun hilang gitu aja dari jadwal rutin televisi nasional. Saya masih inget dulu waktu sd selalu pingin pulang cepet biar gak ketinggalan nnton kring kring olala di TPI, sore nya nonton tralala trilili di rcti dan tergila-gila sama sosok kak ferry.
Salah satu yang bikin masa kecil saya terasa pas itu yah karena bisa dengerin lagu-lagu yang sesuai sama umur saya kala itu. Dengerin juga sih kayak dewa 19 atau padi tapi porsinya gak lebih banyak dari dengerin lagu anak-anak. Kaset sherina saya bahkan sampe rusak saking seringnya di setel. Tapi lihat deh sama anak-anak sekarang. Semua nyanyi lagu cinta-cintaan yang tentu aja belum pantes di denger sama mereka. Sial nya hal itu di perparah sama kenyataan munculnya penyanyi cilik berusia sd yang seliweran di televisi tiap hari bawain lagu cinta-cintaan. 
Satu contohnya katakan lah Coboy Junior. Waktu pertama kali liat mereka ngobrol-ngobrol sama MC di acara musik kacrut itu yang gak perlu disebut nama nya lah yah udah pada tau juga kan, saya lumayan seneng dan mikir wah asik juga nih sekarang ada penyanyi cilik bisa masuk tv. Eh pas denger lagu yang mereka nyanyiin, jedarrrrr. Kesel, heran, gak nyangka, semuanya jadi campur aduk. Mereka yang masih berusia anak-anak dengan fasih dan lincah nyanyiin lagu bertema cinta-cintaan. Dengan adanya mereka di televisi hampir setiap hari tentu aja akan makin banyak anak kecil yang tersesat nyanyiin lagu cinta-cintaan. Tapi si personel coboy junior itu tentu saja bukan pihak yang patut disalahkan atas keberadaan mereka dengan lagu eeaaa nya itu.
Coba kita tengok pihak-pihak yang berusaha ambil keuntungan dari mereka. Orang tua sih yang paling berperan. Misalnya mereka orang tua cerdas yang tau mana lagu yang pantes untuk dikonsumsi anak-anak mana yang gak tentu aja gak akan ada kejadian anak sd cerita soal cinta lewat lagu. Kalo produser mah gak usah dibahas lah ya, mereka mah cuma mikirin gimana caranya jualan biar dapet untung. Masalah moral anak-anak mah jauh lah dari pemikiran mereka. Gak habis pikir aja apa sih yang ada dalam pemikiran orang tua mereka sampai ngebiarin anak nya yang masih usia sd yang mungkin belum ngerti sama apa yang mereka nyanyiin itu memanfaatkan bakatnya buat suatu hal yang gak pantes?

Monday, September 3, 2012

Cerita Saya Tentang Raindrops


Iseng-iseng yang menyenangkan dan menambah wawasan rasanya cocok jadi tagline keisengan saya sampai menemukan sebuah EP berjudul The Story From The Past milik Raindrops. Berawal dari kejenuhan saya akan playlist yang ada di perangkat pemutar musik yang saya punya, saya nyoba buat mengunjungi satu web yang banyak ngasih link download band-band indie se-Asia Tenggara. Nama-nama kayak L’alphalpha dan Swimming Elephant tentu saja udah gak asing lagi buat saya. Sempet liat mereka manggung juga pas acara Joyland beberapa bulan yang lalu. Ahirnya saya download lah dua lagunya Swimming Elephant, kalo L’alphalpha sih udah punya single nya itu tapi saya lebih senang menikmati lagu mereka secara live dari pada rekamannya, hehe. Bukan berarti gak bagus, personal taste aja sih ini mah. Karena itu lah saya gak coba buat download lagu mereka atau beli albumnya. 
Saya emang gak terlalu suka sama musik yang berbau postrock atau shoegaze. Paling musik kayak gitu cuma Themilo sama Polyester Embassy aja yang masih nyambung. Selain dua band itu saya gak ngerti gimana cara nikmatinnya. Berkali-kali maksa dengerin, kupingnya tetep nolak. Tapi itu semua terbantahkan waktu saya nemuin Raindrops di web nya SEA Indie. Jujur awalnya saya tertarik sama Raindrops cuma karena artwork sama satu judul lagunya Happiness is Only Real When It Shared. Menurut saya itu judulnya catchy banget. Akhirnya saya download lah EP nya yang total berisi 5 lagu. Dari awal udah ekspektasi bakal gak suka sebenernya karena di profil nya ditulis genre musiknya shoegaze. Tapi berbekal penasaran yang tinggi sama lagu Happines is Only Real When Its Shared itu ya nekat tetep download. Dan tadaaaaaaa pas di dengerin lumayan kaget banget. Saat itu juga saya jilat ludah saya dan saya bilang kalo saya suka shoegaze. Eh suka Raindrops deh lebih tepatnya, hehe. Seriously saya suka sama lagu-lagunya Raindrops sejak pendengaran pertama. Dan ngulang-ngulang terus lagunya tanpa sedikit pun ngerasa bosan.
Saya pikir ada yang aneh nih sama Raindrops. Gimana bisa band yang belum pernah saya denger, shoegaze pula, bisa sebegitu memikatnya buat saya, ciehhhh. Buat saya Raindrops ini beda dari kebanyakan musik shoegaze atau post rock lainnya. Biasanya kan feel nya kelam, galau, kalo denger berasa langsung pingin nyilet-nyilet tangan gitu yah, oke ini lebay haha. Tapi Raindrops ini justru lebih fun musiknya, mengawang sih tapi tetep bikin semangat tiap saya dengernya. Selalu ngasih aura positif lah tiap denger lagu-lagunya. Sejak saya nemuin Raindrops itu lah saya mulai cari akun socmed nya dengan maksud pingin nyari info gigs nya karena gak afdol rasanya kalo suka sama satu band tapi belum pernah liat live nya.
Lumayan hampir sebulan nyari-nyari gak ketemu, saya tanya teman-teman yang di Bandung juga gak ada yang tau. Wah gila nih masa musik sebagus gitu ga ada yang tau, aneh kan? Sampe akhirnya saya kepikiran buat search nama satu-satu nya personel Raindrops yaitu Treza Agung di twitter dan abracadabraaaa ketemu lah itu si orang jenius dibalik lagu-lagu Raindrops. Senengggg, pake banget malah senengnya haha. Saya penasaran banget sama cerita-cerita dibalik lagu-lagu Raindrops. Jujur saya agak bloon kalo mesti interpretasi lagu yang gak ada liriknya -__-“ palingan cuma analisa feel dari musiknya aja. Setelah mention-mentionan akhirnya kami pun janjian buat chatting.  Nah karena saya bingung gimana mesti ngerangkum hasil obrolannya jadi berikut saya kasih kutipannya aja yah (udah di edit biar enak dibaca tanpa mengurangi inti ceritanya)

Saya: Halooo kang
Treza: Halooo, jangan panggil kang ihh berasa tua banget, haha
Saya: Oh oke, duh saya deg2an euy
Treza: Jiahhh kayak mau sidang aja
Saya: Hehe. Eh mau nanya-nanya soal EP dong Trez. Proses kreatifnya gimana sih?
Treza: Lagu-lagu itu saya bikin iseng-iseng aja waktu lagi studi di Perancis, kebanyakan sih dari apa yang saya rasain dan proses berpikir soal apa yang terjadi disekeliling saya.
Saya: Tiap lagu bikinnya berapa lama?
Treza: Macem-macem sih, ada yang 5 bulan baru kelar, ada juga yang sebulan. Pas lagi kuliah agak repot sih jadi ga bisa cepet ngerjainnya. Jadi EP itu 6 lagu nyicil aja dari taun 2007. Ga kepikiran jadi EP juga sih awalnya, saya cuma bikin lagu trus masukin myspace sampe akhirnya SEA Indie tertarik dan mau ngumpulin itu jadi EP.
Saya: Tapi agak aneh rasanya musik sebagus itu kok bisa gak kedengeran yah, di gigs ataupun di media. Punten apa saya yang gak tau? Beda banget sama band-band lain yang ada di SEA Indie yang udah sering ada di gigs
Treza: Itu lah yang bikin saya minder, haha. Sebenernya lebih karena gak ngerti sih gimana caranya buat publish, gak punya manager juga. Lagian namanya juga project tidak serius, ngerjainnya nyantai makanya lama selesai nya juga.
Saya: Kalo menurut saya kan Raindrops teh beda dari shoegaze atau post rock kebanyakan, Raindrops tuh music sm beat nya lebih ceria sih. Kalo diliat dari judul-judulnya, sebenernya ini teh isinya tentang optimisme bukan?
Treza: Hmm bukan sih
Saya: Damn, tetep yah saya gak bisa interpretasi lagu shoegaze, haha. Oke jadi tentang apa?
Treza: Beda-beda sih, garis besar nya tentang cinta, hobi sama pandangan saya tentang sesuatu. Misal, Music, Book and Chocolate udah jelas lah yah itu mah hobi saya, La Peur itu tentang ketakutan saya sama cinta, trus ada juga Past Boy itu tentang orang yang lagi mengenang masa lalu, makanya dibikin mengawang biar pas mood nya sama orang yang lagi mengenang masa lalunya. Happiness kebayang lah yah dari judulnya. Trus Sin and Its Mesmerizing Beauty itu tentang anak nakal.
Saya: Anak nakal itu kamu? :p
Treza: Haha kalo mau bahas itu mah panjang ceritanya.
Saya: Haha, oke lanjut
Treza: Jadi di EP itu emang sih musik nya dikemas dengan yang agak ceria. Makanya saya lebih seneng kalo misalnya orang nyebut music saya electronic atau pop. Ya bebas sih sebenarnya. Menurut kamu berat gak sih tema lagu-lagu saya?
Saya: Ahh gak juga, wajar sih orang berpikir soal apa yang terjadi disekitarnya. Daripada bikin yang cinta-cintaan melulu.
Treza: Kisah cinta saya lancar sih :p
Saya: Hahaa pantes. Sampai sekarang Raindrops sendirian aja?
Treza: Dari awal sih udah sendiri, trus pas taun 2007 saya pulang ke Bandung ada beberapa teman yang mau gabung. Sempet pernah berempat tapi ternyata keinginan bermusiknya beda-beda, akhirnya menyisakan saya berdua sama gitaris. Eh dia nya pindah keluar pulau jadi aja Raindrops balik lagi sendiri.
Saya: Jadi kapan mau main live? Haha teteppp. Sebenernya terbuka gak sih buat main di gigs gitu?
Treza: Hmm terbuka sih cuma banyak yang mesti disiapin setelah lama vakum. Yang disiapin itu kayak efek sama alat yang lain lah. Kapan-kapan liat saya latihan yah biar bisa dapat masukan saya udah layak main live apa belum, hehe.

Dan tiba-tiba sinyal saya pun lupleppp jadi gak bisa bilang makasih dan dadah-dadah dulu sama Treza, hihi. Jadi begitu lah kira-kira hasil obrolan seru saya sama Treza, satu-satunya orang yang ada dibalik Raindrops. Oh iya mungkin ada yang bingung, di awal saya bilang EP nya ada 5 lagu tapi di cerita Treza ada 6 lagu. Jadi menurut Treza, memang ada 1 lagu yang ga masuk di EP karena waktu mau di rilis satu lagu tersebut yang judulnya Girls belum rapi jadi dipending dulu. Rencananya sih sebentar lagi bakal di publish di link souncloud nya. Kita tunggu aja kabar nya, jadi jangan lupa follow @trezaagung
Yuppp sekian curhatan saya, sampai bertemu kapan-kapan. Semoga saya bisa nemuin band-band local lain yang gak kalah kece. Akhir kata LET’S SUPPORT OUR LOCAL INDIE BAND. Cheriooooo

Download  EP The Story From The Past di sini